Friday, March 23, 2012

"Swing Me" - Holiday Writing Challenge - Menulis Adegan Klimaks Ala Novel -


CHAPTER 10

“Aku bukan Belle si Cantik. Bukan Saudara Tiri. Bukan Cinderella. Bukan pula Siti Nurbaya! Aku hanyalah orang yang mencintaimu.” - Dea

Dea tak mampu lagi berkata banyak, dirinya terlalu bimbang. Dia hanya mampu berdiri mematung di depan ayahnya.

“Ayah tidak ingin membuatmu menderita lagi, sekali ini ayah berbicara sebagai ayahmu. Ayah yang sangat menyayangimu. Pergilah ke Jogja. Kuliah disana yang baik. Mulailah hidup yang baru. Lupakan kejadian-kejadian yang menimpamu akhir-akhir ini.”

Dea menunduk. Terlalu acak pikirannya sekarang ini.

“Ayah tak akan memaksamu. Tapi inilah yang terbaik yang bisa ayah lakukan untukmu.”
 

Dea memandang sosok lelaki yang baru-baru ini dia kenal secara dekat itu dengan tatapan sendu. Mengamati setiap kerutan di wajahnya dengan cermat. Menjelajahi hitam pekat mata yang Dea yakini juga sama tersiksanya seperti dirinya.

“Pikirkanlah lagi, De.” Pak Deni berjalan menghampiri Dea, berada tepat di hadapannya, dan meletaakan tangannya di pundak sang anak.


“Ayah...” panggil Dea pada akhirnya, sesaat sebelum Ayahnya hendak berpaling.
 

“Hmm?”
 

Dea ragu. “Aku ingin bertanya. Jika saja... ehm, jika saja Bella tidak ada disini, tidak menjadi anak ayah. Apakah ayah masih akan menjodohkan anak ayah dengan Alex?”
 

“Apa maksudmu?” Pak Deni mencerna pertanyaan yang diajukan anak kandungnya itu. “Apa kau mencintai Alex, Dea?”
 

“Jawab saja pertanyaanku, Yah...”

“Dea, Nak, setiap orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya. Kau dan Bella adalah anakku. Anak kandung ataupun bukan. Ayah mencintai kalian dan ingin kalian berdua mendapatkan kebahagiaan. Bella mencintai Alex. Dan dia ingin menjadi istrinya. Itu...”
 

“Jadi perjodohan ini tidak ada hubungannya dengan kotak itu?” sela Dea mencari kepastian.
 

“Kotak? Kotak apa yang kamu maksud?”
 

“Ayah, aku sudah tahu semuanya. Jadi aku mohon jawab saja pertanyaanku!”

Pak Deni terdiam sejenak. Mengumpulkan keberaniannya untuk berkata jujur. “Alex menginginkan kotak itu sedari dulu. Ayah tak mau memberikannya, tapi Bella sangat membutuhkan Alex, sayang. Jadi pernikahan ini akan tetap terjadi. Dengan atau tanpa adanya kotak itu!”


Dea tak sadar menjatuhkan air matanya. Terisak. “Walaupun sekarang Ayah tahu kalau aku mencintai Alex, ayah akan tetap menikahkan mereka?”


“Sayaangg.... kau masih muda, Bella dan Alex sudah pantas untuk menikah. Kau akan bertemu jodohmu suatu saat nanti. Kau mengerti, kan?”


Dea masih menangis. Bagaimanapun juga Pak Deni adalah ayah keduanya, apapun keputusannya pasti akan menyakiti salah satu dari mereka.


“Sayanng....” kata Pak Deni berusaha meredakan tangis Dea.


“Aku butuh udara segar, Yah. Aku ingn keluar sebentar.” Dea pergi meninggalkan Pak Deni terduduk diam di kamarnya. Melangkah perlahan menuruni tangga, berharap tak ada seorangpun yang menyadari kepergiannya.


Dea melangkah gontai menuju taman kompleks tak jauh dari rumah ayahnya. Beberapa kali dia menepuk-nepuk dadanya yang terasa berat. Sesak. Tangisnya terlalu lelah untuk memompa keluar semua rasa sakit yang dia rasakan saat ini. Berharap dengan menepuknya lebih keras, sebagian sesaknya akan memudar.


Entah berapa lama dia berdiri di tengah taman itu, disamping ayunan yang terus saja mengeluarkan bebunyian diterpa angin malam yag dingin.


“Jangan pukul dadamu lagi, bodoh!”


Dea mengerjap. Menahan keinginannya untuk berbalik. Tahu pasti siapa yang ada di belakangnya dan menyaksikan betapa menyedihkannya dia sekarang ini. “Kau pernah bilang, kan?  Tidak peduli si cinderella ataupun si anak tiri, sang pangeran akan memilih orang yang bisa mengatasi rasa ingin tahunya. Kau juga bilang, jika saja saat itu anak tirilah yang disiksa, ditolong ibu peri, dan diberi sepatu kaca, sang pangeran tentu akan mencari si anak tiri, bukan cinderella, ya kan?”


“Ya. Apakah kamu mau bilang saat ini kamulah cinderella?”


Dea menggeleng. Masih membelakangi Alex. “Tidak, aku sendiri tidak tahu berperan sebagai apa aku disini. Yang jelas, sepatu itu tak kumiliki dan kedatanganmu kesini jelaslah bukan untukku.”


“Bagaimana jika kukatakan bahwa kedatanganku untuk bertemu denganmu, apa kau akan mempercayaiku?”


Iya, katakan, kau merindukanku. Katakan. Rengek Dea memendam harap. “Kita tahu untuk apa kedatanganmu disini, Lex. Sepatu kacamu, si pembuat penasaranmu! Kotak itu!”


Dea menghela nafas panjang. Berbalik, dan membiarkan matanya menuntaskan kerinduan akan lelaki di depannya itu. “Bagaimanapun juga, aku turut berbahagia. Selamat atas pertunanganmu, dan juga kotak itu! Akhirnya kau mendapatkannya!”


“De, kamu tahu kan, aku... iya aku menginginkan kotak ini. Sangat! Tapi aku sama sekali tak tahu bahwa kau dan Bella ternyata saudara!”


Kau tahu aku juga tidak menyangka semua akan menjadi seperti ini. Kata dea dalam hati. Dea tesenyum hampa.


Can you do me a favor?” tanya Dea tiba-tiba. Alex mengernyitkan dahi. Mengikuti gerak langkah Dea yang menuju ke arah ayunan di damping dia berdiri. Bersiap untuk didorong. Alex bergegas berdiri di belakangnya. Tersenyum.


Dea terkekeh sesaat dirinya mulai mengayun. “Huaahhh!! Ringan!”
Alex terus mendorongnya dalam diam. Membiarkannya merasa tenang.


“De?”


“Bisakah kita akhiri percakapan ini. Aku sungguh ingin diayun.” Pinta Dea polos, berusaha tegar.


Dea ingin melepaskan penatnya. Ayunan selalu membuatnya merasa bebas. Merasa lega. Masalah ayah-anak, saudara, perjodohan, dan misteri kotak itu menjeratnya semakin dalam. Diayun membuatnya lega, sama ketika dulu Alex mendorongnya di ayunan ketika dia sedang sedih teringat ibunya.


Oh Tuhan, relakan dia untuknya, Tuhan. Perjodohan ini untuk mereka. Dea membatin.


Perjodohan ini bukan perjodohan Siti Nurbaya, itu yang Dea tahu. Toh Siti Nurbaya tidak dipaksa menikah. Tidak dijodohkan paksa oleh orangtuanya, seperti yang orang bilang. Dia hanya berkorban untuk sang Ayah. Merelakan dirinya menderita agar supaya sang ayah terbebas dari hutangnya. Seperti Belle, si cantik, yang rela tinggal di istana dengan si buruk rupa demi sang Ayah. Dulu, Dea selalu berpikir bahwa dirinyalah Belle, meski dia tak cantik, meski si buruk rupalah yang tampan, si Alex. Tapi perjodohan ini bukanlah perjodohan seperti itu. Bukan paksaan atau pengorbanan. Perjodohan ini demi kotak itu, demi sepatu kaca yang pangeran inginkan.
 

Di balik pohon itu, Bella mengamati keduanya penuh amarah. Mendengarkan setiap kata yang mereka bicarakan dengan sinis. “Akulah si Cinderella, De. Aku pemeran utamanya. Dan Pangeran itu milikku!”

Lepehan Selanjutnya »»

Saturday, March 17, 2012

Just the same, Ur choice, beib!

Katakan saja semua baik-baik saja,
Lancar,
Seperti bagaimana seharusnya.
Lalu apa semua rasa yang terkikis di dada tak akan melonjak keluar?
Bukan saat ini,
Tapi suatu hari nanti!
Di saat hiruk pikuk terjadi,
Kau laksana bom yang siap meledak jika tersulut sumbunya.
Dan apa?
Kamu terlihat bodoh!

Katakan saja sejujurnya,
Berantakan,
Apa adanya,
Naahh orang akan berlomba menyerocos tak tentu arah,
Kau akan terlihat sebagai yang tersakiti atau mungkin tak tahu diri.
Detik itu juga!
Lalu sesuatu terjadi,
Dan kamu tetap akan terlihat bodoh!

Lepehan Selanjutnya »»

Saturday, March 10, 2012

A Juggler wow wow, cheerioooo!!!


Cheeriooo....
Cheeriooo....
Juggling a thousand of water balloons
U’re a juggler
Hop.. hop...hooopppp!!!
Up and down

Lepehan Selanjutnya »»

Friday, March 9, 2012

HARI PERTOBATAN KORUPSI NASIONAL

Yeaaayyy, akhirnya ketemu lepi tersayang, hahahah... susah beud buat nulis lewat hape, mana nulis dua kali gagal posting mulu lagi, hahaha...
*gregetan

Ternyata udah hampir sebulan setengah enggag mosting apapun, DURHAKA KAUUU!!!
Well, somehow, tercetus secara gak diyana diguna dan diguna-guna, suatu hari dimana orang-orang yang melakukan korupsi secara tersembunyi, terduga-duga, terselubung, atau malah buka-bukaan bolehlah ya, atau lebih tepatnya DIMOHON dengan sangat untuk melakukkan pertobatan massal. Katakanlah hari itu dengan...


HARI PERTOBATAN KORUPSI NASIONAL.

Lepehan Selanjutnya »»