Sunday, August 21, 2016

PONDOK KOPI - Rasa

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen#MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

PONDOK KOPI - RASA




Dinda meraih sekotak tissue yang terletak tak jauh darinya. Merenggut tiga helai sekaligus dari kotak itu dan mulai menggunakan helai pertama untuk menggosok mejanya. Memastikan tak ada bekas minyak, sisa makanan, atau bekas gelas yang membekas disana. Padahal beberapa detik lalu, ada pegawai yang datang membersihkan dengan lap sembari mengambil piring dan gelas dari konsumen sebelumnya.

Helai kedua dia pakai lagi untuk mengelap mejanya lagi, meja panjang bepelitur kayu kasar itu pun nampak lebih bersih daripada sebelumnya. Setidaknya itulah yang Dinda yakini setelah dilap dua kali.
Seorang pegawai wanita datang dan membawakan pesanan Dinda, secangkir cappucino panas dan secangkir kopi hitam untuk Mas Dion.
"Makasih, Mbak."
Diambilnya sendok kecil di sebelah cangkir, Dinda mengusapkan sehelai tissue ketiga disana. Sebenarnya Dinda tidak terlalu suka jika harus berada di Pondok Kopi ini. Mas Dion lah pemrakarsanya. Pemaksaan kehendak secara halus, kata Dinda pada Mas Dion dulu, setalah keempat kalinya janjian disitu dalam dua minggu. Begitu cintanya Mas Dion akan racikan kopi hitam di tempat ini. Arabika lokal dengan fermentasi resep rahasia sang pemilik. Rasa asam yang pas, pahit yang tak begitu terlihat. Entah Dinda tak pernah mengerti.
Hal-hal kecil ini yang akan mulai dicintai Dinda meskipun dia tahu, mungkin akan butuh waktu. Apa yang Mas Dion sukai akan dicintai pula oleh Dinda. Sesederhana itu. Bigger purpose needa several little things to be sacrificed. Begitu.
"Sudah lama, dek?"
Dinda menoleh, menarik tas slempang post-man coklat yang tadi diletakkanya di bangku samping.
"Nggak, Mas, baru aja kok, ini pesenannya juga baru dateng."
Dan disanalah Mas Dion. Berwibawa seperti biasa, memakai polo shirt hitam dengan lion badge di bagian dada, dipadukan dengan celana selutut warna abu. Lelaki inilah yang telah setahun menemaninya. Rambut ikal nya bergoyang diterpa angin yang tetiba datang. Dinda tersenyum kecil, mengamati Mas Dion yang berusaha melepaskan jaket yang tadi dikenakannya.
"Mau duduk di dalem aja apa kalo dingin." ujarnya begitu menyadari malam ini begitu berangin.
"Nggak ah, disini aja, banyak angin." Karena Dinda tahu spot inilah kesukaanmu Mas.
Mau diluar atau di dalam ya sama aja, asal sama kamu. Batin Dinda tersipu malu.
Dengan anggukan Mas Dion menjawab, kemudian menyeruput secangkir kopi di hadapannya yang masih mengepul panas.
"Cappucino lagi, Dek?"
"Iya lagi pengen aja, gak usah nyeramahin sejarah kopi lagi udah." Dinda merajuk, biasanya kalau Dinda membandingkan pesanannya dengan kopi hitam, Mas Dion akan menerangkan dari A sampai Z sejarah kopi, dari jenis Arabica, kopi Wamena, Aceh Gayo sampai luwak. Dinda akan meng-iya iyakan saja.
"Iya, iya..." Dion mengaduk kopinya, "malah pengen yang es, pesen lagi aja deh, ekstasi enak kali ya." Mas Dikn menyebut nama minuman es kopi di Pondok Kopi. Segelas tanggung kopi hitam dengan beberapa kotak es yang juga dibuat dari racikan kopi.
Dion memanggil pelayan dan menyampaikan pesanannya.
"Eh Mas katanya mau ngomong, ngomong apa?" tembak Dinda setelah pelayan pergi.
"Ibu kemarin bilang apa setelah Mas pulang?"
Dinda mengaduk cangkirnya asal-asalan. Hari lalu, kesekian kalinya Mas Dion datang kerumah. Seperti biasa pula Ibu girang akan kedatangannya. Dan selanjutnya memberondong Dinda dengan pertanyaan dan pernyataan kapan kawin dan tetek bengeknya.
"Gimana ibu nya?"
"Kapan mau bawa keluarganya kesini?"
"Dia rabu pahing ya, cocok kayaknya, tp nanti tanya Bapak dulu, biar dihitungkan..."
Ah Mas Dion, sebegitu ngefans nya Ibu sama kamu. Entah karena wibawa dan pesonamu atau akhirnya anaknya ada yang mau.
Bagi Dinda, Mas Dion ini nyata. Benar-benar datang perlahan. Mencoba mengenalnya, mendalaminya, dan menerima dia apa adanya. Sejutek sedingin Dinda, Mas Dion tahan. Telebih Mas Dion tidak pergi setelah tahu keluarganya. Mas Dion tak peduli. Mas Dion paham dan mengerti.
Usaha Mas Dion tak bisa diacuhkannya, setahun menjajaki keangkuhan Dinda. yang pada akhirnya mampu mengalahkan ke-ego-an Dinda yang selama ini dibangunnya tinggi untuk tetap hidup. Bertahan.
Dinda ingat dengan jelas, lima bulan lalu saat Dinda minta pisah tepat setelah Mas Dion diajak kerumah pertama kali. Dinda ragu Mas Dion mau setelah tau. Dinda trauma penolakan yang dulu.
"Memang kenapa tho, Dek?" tanya Mas Dion kala itu. "Pulang dari rumahmu, aku didiemin, ngambek gak mau ketemu. Sekarang ketemu minta putus."
"Aku gak masalah dengan masa lalumu. Sungguh. Kita kan hubungannya aku sama kamu. Cukup. Aku gak mau sayang-sayangan kok sama bapakmu."
"Si Damar ninggalin kamu yaudah, udah kejadian. Ibuknya gak suka kamu gara-gara bapakmu yaudah. Yang dulu biar aja ditutup. Udah kukut!"
Dan berangsur Dinda luluh. Diyakinkan oleh waktu bahwa Mas Dion tak masalah dengan bapaknya yang tukang kawin. Keluarganya yang cerai berai. Mas Dion rutin berkunjung ke rumah. Seperi biasa. Bercengkrama dengan ibu, dibuatkan kopi yang katanya favoritnya setelah di pondok kopi.
"Kok ngelamun, Dek?"
Dinda tersentak. Menyesap cappucino pelan. Sesaat kemudian pesanan Dion datang. Es kopi.
"Makasih." 
Mas Dion kemudian berpaling ke Dinda setelah pelayan pergi.
"Ibuk tanya, Mas Dion mau bawa keluarganya Mas Dion kerumah kapan. Ibuk mau ngomong ke Bapak biar dicariin tanggal." cecar Dinda.
Mas Dion terdiam. Berpikir.
"Oya Mas, aku belum bilang ke ibuk juga, kalo sampai saat ini aku belum pernah main ke rumah Mas Dion di Surabaya. Kenal ibuknya Mas juga lewat telpon aja."
"Dek, Mas mau cerita. Adek denger sampai selesai ya, please jangan diinterupsi."
Dinda menunggu.
"Adek tahu kan Mas serius sama adek. Selama ini Mas pengen bener-bener kenal Adek, luar dalam. Mas gak mau gagal lagi, Dek."
Dinda membuka mulut mau menyela kata, dahinya mengernyit mencerna semua kata. Tapi terlihat Mas Dion mulai melanjutkan.
"Mas sudah menikah. Mas punya satu anak. Sekarang mereka di Surabaya. Tapi sungguh Mas sudah gak ada hubungan lagi dengan istri Mas. Kita udah gak cocok..."
*********
Lebih dari tiga bulan Dinda tak pernah menginjakkan kaki di Pondok Kopi ini. Tapi si kampret Maya malah ngajak ketemu disini. Buat reuni katanya.
Aah... Mas Dion dan kebohongannya.
Kali ini Dinda tak mau mengorbankan apapun. Yang dikorbankan terlalu besar, bukan cuma sekedar kopi yang disukai, bukan tempat nongkrong, bukan cuma lebih memilih suka ayam bakar ketimbang goreng.
Tujuan hubungannya dengan Mas Dion adalah pernikahan. Mengorbankan hal-hal kecil demi bersatunya dua manusia ini terlalu remeh kalo tidak menomor satukan kejujuran dan kepercayaan.
Mas Dion dengan segala kisah masa lalunya. Dia mau meyakinkan dirinya sendiri kalau Dinda adalah calon istri yang tepat baginya, ingin mengenal Dinda luar dalam guna mencari apa yang tidak ditemukan di istrinya, mencoba agar kesalahan dalam rumah tangganya yang gagal tak terjadi kelak. Dan Mas Dion sudah yakin bahwa Dinda sudah tepat. Dinda is the one. Bullshit! Mana bisa kalo dari awal gak jujur. Seharusnya Mas Dion menyadari setelah tahu sakit hati Dinda ke Bapak, setelah diberi berbagai macam keluh kesah tentang bagaimana Ibu dibohongi Bapak. Apa Dinda mau percaya setelah ini. Apa Dinda harus menjadi 'wanita lain' itu seperti dulu dia melihat istri-istri lain ayahnya. Meski ibunya menerima. Meski dia tahu tapi pura-pura tak tahu. Meski ibunya tak pernah mengungki-ungkit mereka. Dinda tak mau apa yang terjadi pada ibunya terjadi pula kepadanya.
Sungguh Dinda tak mau.
"Dateng juga lu, Din, keburu lumutan gw nungguin lu. Nih gw pesenin es kopi. Es kopi sini enak. Yakin deh."
Dinda memeluk Maya yang entah kapan terakhir dilihatnya. Maya tak tahu tentang Mas Dion, kecintaannya ke kopi dan Pondok Kopi ini.
Lucu. Tiga bulan yang lalu dia benci sekali tempat ini. Tapi akhir-akhir ini dia rindu tempat ini, rindu wangi kopi, kangen rasa asam dan manis kopi ekstasi. Terlebih waktu dia menyadari kalo selama ini dia tak mengenal Mas Dion nya itu. Menuntut Mas Dion untuk memahami sejarahnya, tak menghakimi masa lalunya, menyemangati tiap langkahnya. Lalu kemudian menyalahkan tiap ketidak-jujuran yang tidak diucapkannya di awal hubungan. Tapi sejak awal, Dinda tak pernah berusaha untuk menginterogasinya, mencecarnya dengan beribu pertanyaan pribadi yang seharusnya diketahuinya. 
Dinda dan sakit hatinya terlalu besar hingga dia kurang peka terhadap kehidupan Mas Dion. Mungkin Dinda tak terlalu cinta. Mungkin Dinda belum yakin akan cinta, menerima, dan percaya. Mungkin suatu saat nanti.
Dinda sudah tak mau lagi peduli. Dan untuk kesekian kalinya meyakinaan diri bahwa kejujuran itu kunci. Dinda percaya akan sesuatu yang diketahuinya. Bahwa sekali tidak jujur, kemungkinan untuk seseorang untuk tidak jujur lagi itu makin besar. Sakit hati karna ketidak-setiaan itu menyakitkan. Mana mungkin Dinda menorehkan luka yang sama ke anak Mas Dion. Luka yang sama dulu waktu dia kecil. Entah berapa kalipun Mas Dion datang mengiba maaf dan meyakinkan Dinda betapa dia membutuhkannya. Betapa nanti dia akan sungguh menjaganya, tak menyakitinya. Terlalu pahit mengingat lukanya. Janji manisnya terlalu samar. Dibalut jadi satupun asamnya akan sangat berasa.
"Gw lagi gak mau es kopi May. Gw mau coklat panas aja deh."
Maya membelalakkan matanya tak setuju ke Dinda, "Ini tuh namanya Pondok Kopi, bukan Pondok cokelat."
Dinda mengangkat bahu. Setidaknya Pondok Kopi ini menyajikan berbagai macam rasa. Tak hanya pahit, asam dan manis semata. Mungkin secangkir coklat panas akan lebih berasa?


NB:
Ekstasi : menu es kopi di Kopi Tarik Ungaran. Enak!
Foto skull latte art at Blackbone cafe

No comments:

Post a Comment